REVIEW MORFOLOGI KOTA BANDAR LAMPUNG

Morfologi kota merupakan kesatuan elemen pembentuk kota yang di dalamnya mencakup aspek detail baik fisik maupun non fisik. Morfologi atau bentuk kota berkaitan erat dengan arsitektur kawasan. Dalam kaitannya dengan kota dan arsitektur, morfologi memiliki dua aspek yaitu aspek diakronik yang berkaitan dengan perubahan ide dalam sejarah dan aspek sinkronik yaitu hubungan antar bagian dalam kurun waktu tertentu yang dihubungkan dengan aspek lain. Aspek metamorfosis adalah sejarah individual dari bangunan dan kota, kesemuanya harus dilakukan dalam analisis morfologi.

Morfologi kota Bandar Lampung berbentuk pita. Peranan jalur transportasi darat berupa jalan raya yang memanjang sejajar dengan aliran sungai, sangat dominan dalam mempengaruhi perkembangan kota. Keadaan demikian juga dipengaruhi oleh keadaan lahan ketika itu yang tidak memungkinkan untuk perluasan areal ke samping. Dengan demikian space untuk perkembangan areal kekotaannya hanya mungkin memanjang saja (Yunus, 2000: 118). Dalam kebangkitannya dewasa ini, perkembangan kota Bandar Lampung mengalami pergeseran ke arah selatan dengan tidak mengubah morfologi kota lama.

Bahasa Lampung terdiri atas dua dialek, yakni dialek O dan dialek A (Van der Tuuk membedakan atas dialek Abung dan dialek Pubian; Dr. J.W. Van Royen membedakan atas dialek Api dan dialek Nyou). Untuk bahasa yang digunakan oleh masyarakat Bandar Lampung menggunakan bahasa Lampung dialek A yang terdiri dari bahasa Lampung Abung, bahasa Lampung Pesisir, dan bahasa Lampung Pubian. Meskipun sekarang masyarakat kota Bandar Lampung juga banyak yang telah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.

Perkembangan penggunaan alat transportasi terutama kapal laut di kota Bandar Lampung maju dengan pesatnya. Akibatnya perluasan jaringan transportasi laut dan darat makin dirasakan pada daerah-daerah yang semula belum terjangkau alat-alat angkut. Morfologi kota akan berubah seperti binatang gurita (Yunus, 2000: 155). Kecenderungan perkembangan semacam ini juga tampak pada kota Bandar Lampung. Jalur transportasi tidak hanya memanjang seperti pita tetapi sudah ke berbagai arah seperti halnya pemukiman penduduk. Kota-kota satelit yang semula merupakan pemukiman transmigran di sekitar Bandar Lampung, kini berkembang menuju kota modern. Kecenderungan perkembangan semacam ini perlu ditanggapi secara arif oleh penentu kebijakan.

Kota Bandar Lampung merupakan kawasan penting dalam rangka perkembangan kota. Bangunan lama yang masih tersisa, secara moral memberikan dorongan bagi kemajuan kota selanjutnya. Korban-korban pembantaian bangunan lama bersejarah di berbagai tempat sudah terlalu banyak. Kalau kecenderungan tersebut dibiarkan, maka akan lenyap ciri-ciri khas dan jatidiri masing-masing kota yang tercermin dari keberadaan warisan arsitektur peninggalan masa lampau.

Perkembangan bentuk morfologi kota Bandar Lampung sampai saat ini telah mengalami banyak sekali perubahan. Kota Bandar Lampung telah didominasi oleh kawasan pemukiman dan industri sehingga pemanfaatan lahan sedikit demi sedikit mulai berubah. Seiring berjalannya proses perubahan tersebut, kekuatan ekonomi juga mulai mengendalikan pola land use Kota Bandar Lampung. Ditandai dengan pembangunan perumahan dan area perbelanjaan dalam jumlah besar telah mengubah pola tata ruang yang sebelumnya terbentuk. Belum lagi rencana pembentukan kota Bandar Lampung untuk menjadi water front city. Jika pengembangan yang dilakukan tidak memperhatikan konteks historis pembentukan kota, sehingga seperti halnya kota besar lainnya kota Bandar Lampung terancam kehilangan karakter spesifiknya.

Sehingga melalui perubahan perkembangan morfologi di kota Bandar Lampung, dapat disimpulkan bahwa salah satu unsur utama yang menjadi faktor dari perkembangan suatu kota adalah penduduk yang mendiami kota tersebut. Jumlah penduduk yang jumlahnya terus meningkat dan luas lahan yang tetap akan mengubah pola ruang dan pengunaan lahan kawasan tersebut. Selain itu, nilai sejarah dan sistem peradaban yang telah ada harus tetap dipertahankan.

Kota yang tidak lagi memiliki lingkungan lama yang bernilai sejarah pada hakikatnya serupa dengan kota yang tidak punya bayangan, dalam arti kota yang tidak memiliki orientasi (Budihardjo, 1993: 33).

0 Responses

Posting Komentar